SENGKETA TANAH DALAM SOSIOLOGI DAN HUKUM
Sengketa tanah yang terjadi di Indosesia semakin meningkat
seiring peningkatan kebutuhan akan pengelolaan tanah dan lahan untuk
pembangunan perumahan dan industri. Pada negara-negara agraris seperti
Indonesia, tanah merupakan faktor produksi sangat penting karena menentukan
kesejahteraan hidup penduduk negara bersangkutan. Paling sedikit ada tiga
kebutuhan dasar manusia yang tergantung pada tanah. Pertama, tanah sebagai
sumber ekonomi guna menunjang kehidupan. Kedua, tanah sebagai tempat
mendirikan rumah untuk tempat tinggal. Ketiga, tanah sebagai kuburan. Walapun
tanah di negara-negara agraris merupakan kebutuhan dasar, tetapi struktur
kepemilikan tanah di negara agraris biasanya sangat timpang. Di satu pihak ada
individu atau kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah secara
berlebihan namun di lain pihak ada kelompok manusia yang sama sekali tidak
mempunyai tanah. Kepincangan atas pemilikan tanah inilah yang membuat seringnya
permasalahan tanah di negara-negara agraris menjadi salah satu sumber utama
destabilisasi politik.
Tanah dan pola pemilikannya bagi masyarakat pedesaan
merupakan faktor penting bagi perkembangan kehidupan sosial, ekonomi dan
politik masyarakat pedesaan di samping kehidupan sosial, ekonomi, dan politik
masing-masing warga desa itu sendiri. Negara agraris yang mengalami pola
pemilikan tanahnya pincang dapat dipastikan mengalami proses pembangunan yang
lamban, terjadi proses pemelaratan yang berat, terjadi krisis motivasi dan
kepercayaan diri untuk membangun diri mereka sendiri.
INSIDEN MESUJI
Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta kasus Mesuji Denny
Indrayana, yang juga Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengatakan,
timnya menemukan data dan bukti-bukti yang mengarah kepada persoalan hak asasi
manusia dalam kasus di Register 45 dan Desa Sri Tanjung di Provinsi Lampung,
serta Desa Sodong di Provinsi Sumatera Selatan.
Atas temuan ini, TPGF akan melakukan koordinasi dengan
Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia. “Kami akan memastikan persoalan HAM
terkait pendampingan hukum, persoalan HAM soal kesehatan, HAM soal pendidikan,
dan juga kependudukan, akan dituntaskan,” kata Denny pada jumpa pers di
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM, Senin (2/1/2012).
Cultural shock demikian kata sosiolog hukum Prof. Satjipto
Rahardjo dinamakan masyarakat Sabu di dalam disertasinya Bernard L, dinyatakan
masyarakat Sabu tahun 1970-an sangat heran dengan adanya aparat kepolisian dan
lembaga kejaksaan dalam menyelesaikan kasus pidana , masyarakat Sabu
menyelesaikan kasusnya dengan kearifan lokal dan kebiasaan adat yang telah
bertahun.
Kiranya masyarakat adat Mesuji harus terkaget-kaget dengan
tiba-tiba tanah adat ( menurut mereka tanah ulayat atau tanah ibu ) diambil
secara sepihak oleh swasta yang mendapatkan ijin dari Instansi Kehutanan qq
Badan Pertanahan Nasional. Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
tanah adat ( tanah ulayat ) telah dimarjinalkan lewat perangkat formalistik.
Tanah adat ulayat yang diakui undang-undang harus memenuhi
persyaratan undang-undang. Oleh produk undang-undang yang sangat formalistik
dan legalistik sangat jauh panggang dari api oleh masyarakat adat. Satjipto menyebutnya
saat ini sudah berkembang soal “kejahatan legislatif” artinya, semua tanah jika
akan diakui harus mengurus surat yang biayanya dapat lebih tinggi dari
keberadaan tanah itu.
Oleh karena itu, berlakunya UU No 5 Tahun 79 merupakan
pukulan telak bagi masyarakat adat, dengan adanya desa.
https://fpatonangi.wordpress.com/2012/01/28/sengketa-tanah-dalam-tinjauan-sosiologi-hukum-studi-kasus-mesuji/
Comments
Post a Comment